Senin, 16 April 2012

KEMARAU

Musim kemarau telah tiba.
Tumbuhan tampak gersang dan layu.
Binatang susah mencari makanan.
Manusia susah mencari air.
Sungai dan sawahpun kering.
Setetes airpun kini telah sirna.

Oh tuhan turunkanlah hujan.
Agar tumbuhan, manusia dan binatang mendapat kesegaran.
Untuk bertahan hidup dari penderitaan.
Dan semesta alampun bernyayi dengan riang.

By: Vita Novasari

PENGEMIS TUA


Wahai pengemis tua, badanmu kurus kering.
Pakaianmupun compang-camping.
Wahai pengemis tua.
Sungguh malang nasibmu.

Demi mendapat sesuap nasi.
Setiap hari kau kepanasan.
Derasnya hujanpun tidak kau hiraukan.
Terkadang kau tertidur di pinggir jalan.

Ya tuhanku yang maha adil.
Setiap doa selalu kupinta.
Maafkanlah dosa pengemis tua.
Dan berikan rizki padanya dengan segera.

By: Diana L

Jumat, 13 April 2012

STUDY WISATA


Oleh: Tri Juni Wahyono 
Alarm berdering jam menunjukkan pukul 6.30, dipagi hari yang cerah ini adalah hari yang paling kunantikan. Karena dipagi ini study wisata yang sudah direncanakan sejak beberapa bulan yang lalu akhirnya tiba. Bergegas aku turun dari atas ranjang. Dengan sedikit berlari aku menuju ke kamar mandi. Kusentuh air dengan telapak tanganku, dinginya air tidak kuhiraukan lagi langsung saja kusiramkan air ke seluruh tubuhku. Ahh dinginya, terasa segar sekali tubuhku, kukemas bajuku dan kusiapkan tas punggungku. Segera saja aku berlari ke Bina Utama.

Dari gerbang kulihat tema-temanku sudah mulai berdatangan di sekolah. Seakan mereka tidak sabar lagi untukk mengikuti study wisata ini. Ada yang berlari kesana-kemari, sambil menunggu mobil yang akan membawa kami.

Tiba-tiba, salah seorang teman menghampiri dan berkata kepadaku. “Jun kamu bus berapa?” Tanya Ipan. “menurut daftar aku masuk kedalam rombongan bus yang kedua coy, kamu sendiri masuk kedalam rombongan bus berapa Pan?” aku bertanya kepadanya. “Aku tadi lihat daftar, dan aku masuk rombongan bus nomor 3” Ipan menjawab dengan santainya. “Ngomong-ngomong kamu bawa ganti berapa Jun?” Reza bertanya kepadaku, langsung saja kujawab, “aku bawa tiga steel coy, dan yang saya pakai satu, Kamu sendiri bawa berapa Za?”, belum sempat Reza menjawab pertanyaanku dari kejauhan terdengan suara buk Risma memanggil.

“Anak-anak, sekarang baris menurut urutan bus masing-masing!”. Suaranya yang keras memaksa kami mengakhiri pembicaraan kami dengan teman-teman. Dengan langkah gontai kami menuju ke barisan. Suara derum mobil mengantarkan kami untuk segera bergegas naik. Bak mobil yang sempit membuat kami berjejalan, rasa sakit tidak kami hiraukan lagi. Karena yang terpikirkan sekarang hanyalah rasa senang.

Mobil menuju jalan raya diiringi suara teriakan dan nyayian gembira. Di ujung aspal Gunung Megang tempat ketiga bus yang akan mengantarkan kami, ternyata sudah menunggu sekian lama. Sambil berloncatan kami berhamburan keluar dari dalam bak mobil, dan masuk kedalam bus sambil tertawa-tawa. Terdengar guru pembimbing mengabsent nama-nama kami. Dan namakupun tak luput ikut dipanggil juga. “Ada pak” kujawab panggilan guru dengan kerasnya, beberapa teman tertawa melihat aksiku. Di dalam bus tampak tempat duduk yang berjejer rapi, kaca-kaca bening membuat mataku leluasa memendang keluar jendela. Kulihat bangku yang kosong dan nyaman untuk kududuki, mesin mobil berbunyi tanda perjalanan panjang akan segera dimulai kembali.

Percakapan teman-teman membicarakan apa kira-kira yang nanti akan kami lakukan disana, terdengar gaduh di telingaku. Pak Joko salah seorang guru pembimbingku segera mencairkan suasana “Jun lihat Jun, itu yang duduk di depan sendiri, pakek kaca mata hitam, badanya gede item, mabuk pertama sendiri” aku tertawa mendengarnya, ‘ha ha ha ha” “Jun kalau kamu sampai mabuk, hidung kamu bakalan tak kasih balsam lho” kata pak Joko. “Ok pak gober-gober pokoe, he he he.”

Setibanya di museum, suara teriakan pedagang asongan menjajakan daganganya menghiasi suanana terik yang menyengat badanku. Sebotol air mineral cukup menghilangkan rasa hausku. Kulangkahkan kaki menuju pintu masuk dengan perasaan gembira. Petugas museum menyuruh kami berbaris, untuk diberi pengarahan. Setelah sekian lama, akhirnya kami dipersilahkan masuk kedalamnya. Di dalam ruang museum banyak sekali terdapat benda-benda peninggalan purbakala. Barang-barang antic peninggalan nenek moyang, diletakkan dengan rapi dan dibatasi dengan bingkai kaca. Kami catat semua keterangan yang tertera pada benda-benda tersebut.

Tiada terasa satu jam sudah berlalu. Kamipun bergegas untuk melanjutkan perjalanan menuju Lembah Hijau. Setelah sekian lama, buspun akhirnya memasuki tempat parkir di Lembah Hijau, guru pendamping tak lupa mengabsent nama kami kembali, dan satu-persatu kami masuk. Dari kejauhan buk Win berbicara “anak-anak makan dulu baru kita main-main” kujawab saja “iya buk”. Kubuka nasi bungkus yang telah dibagikan, menu ayam goreng dan sambal terasi terasa mantap di lidahku. “hem mantap” perutkupun terasa kenyang, sambil beristirahat sejenak, kami segera berganti kostim, dan bersiap untuk memainkan game outbond selanjutnya.

Instruktur outbond telah menunggu kami di lokasi permainan. Kami berbaris untuk diberikan pengarahan kembali. “Adi-adik, sekarang silahkan buat lingkaran yang besar”. “Kalau om bilang wind-wind blow angin bertiup ke kiri geser ke kiri, kalau ke kanan geser ke kanan mengerti!” “iya om” dengan kompak kami menjawabnya. Pak Mahruri, pak Novi, pak Asep, dan pak Duljamin ikut memeriahkan game outbond ini.

Setelah bermain cukup puas badanku terasa sangat lelah. Karena sudah tidak sabar lagi, kuceburkan tubuhku ke dalam kolam renang. Rasa letih yang tadi aku rasakan menghilang. Kulihat seluncuran air yang tinggi di arena waterboom kunaiki tangga demi tangga, kurebahkan badanku dan meluncur bagaikan pesawat yang melaju kencang.

Byuur, suara air yang kutabrak bagaikam bomb yang meledak. Saying Feri dan Bayu tidak bisa ikutan berenang, karena mereka sakit kepala. Kulitku sudah terasa dingin, akupun mulai keluar dari kolam renang, karena permainan flyingfox sudah menunggu kami disana.

Alat pengaman mulai dipasang ke badanku. Dari ketinggian suara teriakan mulai terdengar, aku dapat giliran nomor Sembilan. Aku dan amat dikaitkan dalam satu tali secara bersamaan, sirine berbunyi dan kami diluncurkan engan kecepatan tinggi. Rasanya bagaikan burung yang terbang di alam bebas. Perutku berbunyi pertanda minta diisi. Satu bungkus pecel lele cukup untuk mengganjal rasa lapar ini.

Sinar redup matahari sore, adalah pertanda permainan ini untuk segera diakhiri. Satu persatu dari kami mulai meninggalkan arena permainan. Dengan langkah santai kami memasuki bus kami masing-masing. Bus berjalan pelan mengantarkan kami pulang. Ku ambil gitar dengan sedikit petikan kami nyanyikan lagu-lagu gembira. Sampai di Pringsewu mobil berhenti dan kami membeli oleh-oleh. Perjalanan mulai kami lanjutkan tiba di aspal terakhir Gunung Megang, mobil pickup sudah menunggu, dan siap mengangkut kami kembali.

Rasa gembira kini berganti dengan kesepian di malam hari. Terlintas jelas dalam bayangan kebersamaan dengan teman-teman yang tadi kami lakukan. Semua rasa yang ada kami tumpahkan dalam tidur malam, sambil termenung aku berharap dalam hati semoga kebersamaan ini akan menjadi kenangan yang abadi.

STUDY WISATA DALAM KENANGAN


Oleh: Reza Erlangga
Mentari pagi bersinar mengiringi langkahku menuju Bina Utama. Burung-burung bernyanyi seakan menyambut hatiku yang sedang bahagia. Kenapa, karena hari ini akan diadakan kegiatan study wisata. Saya sudah memimpikanya sejak seminggu yang lalu. Panitia dan guru pembimbing membekali kami dengan persiapan yang matang. Dan di pagi ini hari yang kunantikan itupun akhirnya datang.

Di depan sekolah Rio sudah menyambutku “Za, kamu bawa peralatan apa saja?” Rio bertanya kepadaku “Ni aku bawa baju untuk renang, sama kaos untuk outbond aja kok” tiba-tiba Ijun menyela pembicaraan kami “Za kamu bawa kamera nggak?” “Tenang aja coy kamera sudah tak siapin dari kemarin, pokoknya ntar kamu tinggal make aja kok”.

“Anak-anak silahkan berkumpul menurut kelompok masing-masing!” suara ibu Risma terdengar dari kejauhan, kami akhiri percakapan dan bergegas lari menuju kelompok kami. Beberapa guru mulai memangil nama masing-masing siswa yang mengikuti study wisata. Tanpa basa-basi saya langsung masuk kedalam rombongan mobil pertama.

Study wisata kali ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, letak perbedaanya adalah dulu bus yang kami carter, langsung menjemput kami di sekolah tapi, tahun ini karena kondisi jalan yang rusak parah kami terpaksa harus naik mobil pickup untuk sampai di pemberhentian bus.

Sampai di pemberhentian bus, kamu segera berlompatan dan berlari masuk kedalan mobil. Kami pilih posisi duduk yang paling nyaman, sambil kunikmati alunan music dan snack yang telah dibagikan oleh guru pendamping. Bus melaju dengan kencang menuruni jalan yang berliku. Dari jendela kaca tampak pemandangan yang menyejukkan mata. Sawah membentang dengan padi yang menguning membuat hatiku terasa damai.

“Za aku bawa kacang nih, kalau kamu mau, ambil aja”. Rio menawarkan satu kantung plastic kacang rebus, kuambil satu genggam kacang, ku kupas dan kunikmati setiap butirnya di dalam mulutku. Dari kursi belakang terdengar Sudarmadi bertanya “Saya boleh nggak buk keluar untuk buang air kecil”. “Tahan bentar Dar, bentar lagi kita berhenti di rumah supir busnya”. “Waduh buk, udah anggak tahan lagi nih!” mendengar jawaban Sudarmadi kamipun tertawa dibuatnya, “Ha ha ha ha” Memang Sudarmadi dengan tinggkahnya yang lucu sering menjadi bahan tertawaan teman-teman ketika di sekolah.

Panas terik tidak mematahkan semangat kami. Di depan museum terlihat para pedagang menjajakan daganganya. Bus yang kami tumpangi memasuki gerbang dan menuju tempat parkir yang telah tersedia. Mesin mobil berhenti, satu persatu teman-teman kami mulai turun dari kendaraan menuju museum yang ada di depan kami.

Setelah membeli tiket kami diperkenankan untuk melihat koleksi benda-benda bersejarah yang ada di dalam Museum Lampung. Kami asyik menikmati diorama yang ada didalamnya, bahkan seluruh penjuru museum kami jelajahi hingga tak ada satupun tempat yang terlewatkan dari pengamatan kami. Tak lupa kami berfoto bersama teman-teman dengan berbagai gaya yang akan kami jadikan sebagai kenang-kenangan.

Jam menunjukkan pukul 11.30 saatnya harus meninggalkan museum untuk melanjutkan perjalanan. Kupasangkan headshet di telinga dan kuputar lagu Budi Do-re-mi, musiknya yang ceria mengantarkan diriku dalam indahnya perjalanan ini.

Tanpa kusadari akhirnya sampai juga di Lembah Hijau yang menjadi tujuan kedua. Di tempat pemberhentian, guru-guru sedang sibuk membagikan nasi bungkus untuk makan siang, kuambil satu bagian, aroma sambal terasi membangkitkan seleraku, dengan segera kunikmati menu makan siang dengan lahapnya. “Anak-anak setelah makan siang langsung ganti baju, kita akan segera memainkan beberapa outbond game” kata pak Mahruri kepada kami. Segera saja kuganti seragamku dengan kaos yang tadi aku bawa.
Peluit pun berbunyi instruktur outbond memerintahkan kami untuk berkumpul di tanah lapang. “Anak-anak, permainan outbond akan segera dimulai, ada dua jenis permainan yang akan kamu ikuti, permainan pertama adalah permainan rumah dan tupai, dan yang kedua adalah permainan wind-wind blow tujuan dari permainan ini adalah untuk meningkatkan kekompakan dan kerjasama” instruktur menjelaskan kepada kami. Saya dan teman-teman bergegas membuat lingkaran besar dan mengikuti semua permainan yang ada, ada yang terjatuh, berteriak, menjerit sambil berlarian kesana-kemari tak tentu arah. Murid harus mengangkat guru dan guru terpaksa mengangkat murid silih berganti membuat tanah lapang yang tadinya sepi menjadi ramai karena keceriaan kami.

Beriring dengan peluit panjang yang berbunyi, itu adalah tanda permainan harus diakhiri. Tibalah saat yang paling kami nanti-nantikan yaitu berenang. Aku bersama rombongan dengan tertib memasuki gerbang waterboom. Di dalam wahana air tersebut ternyata sudah dipenuhi oleh para pengunjung yang seolah tidak sabar untuk segera mandi. Akupun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menikmati segarnya air yang ada di dalam kolam tersebut. Melihat begitu asiknya teman-teman berenang, timbulah ide untuk menjahili salah satu teman yang tidak bisa berenang. Aku mengendap-endap mendekati Diky, tanpa curiga dengan apa yang akan aku lakukan, dia masing asik berdiri berdiri di tepi kolam renang tiba-tiba kutarik tanganya dan byuur! Diky pun jatuh masuk ke dalam air. “Za jangan Za” Diky berteriak-teriak meminta aku melepaskanya, tapi aku tidak menghiraukan permintaanya. Ketika sedang asik menjahili Diky, dari sisi kolam renang buk Putri memerintahkan kami untuk berhenti, kulepaskan Diky, aku melompat keluar dari air, madi dan ganti baju.

Mulanya aku agak takut, namun kuberanikan diri untuk mencoba permainan flyingfox seperti yang sudah direncanakan sebelumnya. Instruktur memasangkan hardnest ke badanku dan mengikatkan tali pengaman ke dalam kawat sling yang terbentang. Sirine pun berbunyi, dengan sekali ayun badanku meluncur jatuh ke bawah aku berteriak merasakan ketegangan yang ada. Badanku gemetar saat instruktur melepaskan pengaman dari tubuhku sensasi dari flyingfox memang benar-benar menguji nyaliku.

Lembayung senja di cakrawala mengiringi langkahku untuk mengakhiri permainan ini. Terasa berat langkahku untuk meninggalkan Lembah Hijau. Karena banyak kenangan dan pengalaman baru yang kami dapatkan. Akankan kebersamaan ini akan terulang kembali, atau ini akan menjadi akhir dari kisah indah kita di Bina Utama?, mungkin hanya waktu yang akan membuktikanya. Mobil telah siap membawa kami dalam kenangan ini. Tiba di rumah kurebahkan badanku diatas kasur, sebelum tidur kucoba membayangkan kembali kisah indah yang baru saja aku alami. Walaupun badanku terasa sakit semua, namun kebersamaan dengan teman-teman tercinta akan selalu abadi di dalam jiwa.