Oleh: Tri Juni Wahyono
Alarm berdering jam menunjukkan pukul 6.30, dipagi hari yang cerah ini adalah hari yang paling kunantikan. Karena dipagi ini study wisata yang sudah direncanakan sejak beberapa bulan yang lalu akhirnya tiba. Bergegas aku turun dari atas ranjang. Dengan sedikit berlari aku menuju ke kamar mandi. Kusentuh air dengan telapak tanganku, dinginya air tidak kuhiraukan lagi langsung saja kusiramkan air ke seluruh tubuhku. Ahh dinginya, terasa segar sekali tubuhku, kukemas bajuku dan kusiapkan tas punggungku. Segera saja aku berlari ke Bina Utama.
Dari gerbang kulihat tema-temanku sudah mulai berdatangan di sekolah. Seakan mereka tidak sabar lagi untukk mengikuti study wisata ini. Ada yang berlari kesana-kemari, sambil menunggu mobil yang akan membawa kami.
Tiba-tiba, salah seorang teman menghampiri dan berkata kepadaku. “Jun kamu bus berapa?” Tanya Ipan. “menurut daftar aku masuk kedalam rombongan bus yang kedua coy, kamu sendiri masuk kedalam rombongan bus berapa Pan?” aku bertanya kepadanya. “Aku tadi lihat daftar, dan aku masuk rombongan bus nomor 3” Ipan menjawab dengan santainya. “Ngomong-ngomong kamu bawa ganti berapa Jun?” Reza bertanya kepadaku, langsung saja kujawab, “aku bawa tiga steel coy, dan yang saya pakai satu, Kamu sendiri bawa berapa Za?”, belum sempat Reza menjawab pertanyaanku dari kejauhan terdengan suara buk Risma memanggil.
“Anak-anak, sekarang baris menurut urutan bus masing-masing!”. Suaranya yang keras memaksa kami mengakhiri pembicaraan kami dengan teman-teman. Dengan langkah gontai kami menuju ke barisan. Suara derum mobil mengantarkan kami untuk segera bergegas naik. Bak mobil yang sempit membuat kami berjejalan, rasa sakit tidak kami hiraukan lagi. Karena yang terpikirkan sekarang hanyalah rasa senang.
Mobil menuju jalan raya diiringi suara teriakan dan nyayian gembira. Di ujung aspal Gunung Megang tempat ketiga bus yang akan mengantarkan kami, ternyata sudah menunggu sekian lama. Sambil berloncatan kami berhamburan keluar dari dalam bak mobil, dan masuk kedalam bus sambil tertawa-tawa. Terdengar guru pembimbing mengabsent nama-nama kami. Dan namakupun tak luput ikut dipanggil juga. “Ada pak” kujawab panggilan guru dengan kerasnya, beberapa teman tertawa melihat aksiku. Di dalam bus tampak tempat duduk yang berjejer rapi, kaca-kaca bening membuat mataku leluasa memendang keluar jendela. Kulihat bangku yang kosong dan nyaman untuk kududuki, mesin mobil berbunyi tanda perjalanan panjang akan segera dimulai kembali.
Percakapan teman-teman membicarakan apa kira-kira yang nanti akan kami lakukan disana, terdengar gaduh di telingaku. Pak Joko salah seorang guru pembimbingku segera mencairkan suasana “Jun lihat Jun, itu yang duduk di depan sendiri, pakek kaca mata hitam, badanya gede item, mabuk pertama sendiri” aku tertawa mendengarnya, ‘ha ha ha ha” “Jun kalau kamu sampai mabuk, hidung kamu bakalan tak kasih balsam lho” kata pak Joko. “Ok pak gober-gober pokoe, he he he.”
Setibanya di museum, suara teriakan pedagang asongan menjajakan daganganya menghiasi suanana terik yang menyengat badanku. Sebotol air mineral cukup menghilangkan rasa hausku. Kulangkahkan kaki menuju pintu masuk dengan perasaan gembira. Petugas museum menyuruh kami berbaris, untuk diberi pengarahan. Setelah sekian lama, akhirnya kami dipersilahkan masuk kedalamnya. Di dalam ruang museum banyak sekali terdapat benda-benda peninggalan purbakala. Barang-barang antic peninggalan nenek moyang, diletakkan dengan rapi dan dibatasi dengan bingkai kaca. Kami catat semua keterangan yang tertera pada benda-benda tersebut.
Tiada terasa satu jam sudah berlalu. Kamipun bergegas untuk melanjutkan perjalanan menuju Lembah Hijau. Setelah sekian lama, buspun akhirnya memasuki tempat parkir di Lembah Hijau, guru pendamping tak lupa mengabsent nama kami kembali, dan satu-persatu kami masuk. Dari kejauhan buk Win berbicara “anak-anak makan dulu baru kita main-main” kujawab saja “iya buk”. Kubuka nasi bungkus yang telah dibagikan, menu ayam goreng dan sambal terasi terasa mantap di lidahku. “hem mantap” perutkupun terasa kenyang, sambil beristirahat sejenak, kami segera berganti kostim, dan bersiap untuk memainkan game outbond selanjutnya.
Instruktur outbond telah menunggu kami di lokasi permainan. Kami berbaris untuk diberikan pengarahan kembali. “Adi-adik, sekarang silahkan buat lingkaran yang besar”. “Kalau om bilang wind-wind blow angin bertiup ke kiri geser ke kiri, kalau ke kanan geser ke kanan mengerti!” “iya om” dengan kompak kami menjawabnya. Pak Mahruri, pak Novi, pak Asep, dan pak Duljamin ikut memeriahkan game outbond ini.
Setelah bermain cukup puas badanku terasa sangat lelah. Karena sudah tidak sabar lagi, kuceburkan tubuhku ke dalam kolam renang. Rasa letih yang tadi aku rasakan menghilang. Kulihat seluncuran air yang tinggi di arena waterboom kunaiki tangga demi tangga, kurebahkan badanku dan meluncur bagaikan pesawat yang melaju kencang.
Byuur, suara air yang kutabrak bagaikam bomb yang meledak. Saying Feri dan Bayu tidak bisa ikutan berenang, karena mereka sakit kepala. Kulitku sudah terasa dingin, akupun mulai keluar dari kolam renang, karena permainan flyingfox sudah menunggu kami disana.
Alat pengaman mulai dipasang ke badanku. Dari ketinggian suara teriakan mulai terdengar, aku dapat giliran nomor Sembilan. Aku dan amat dikaitkan dalam satu tali secara bersamaan, sirine berbunyi dan kami diluncurkan engan kecepatan tinggi. Rasanya bagaikan burung yang terbang di alam bebas. Perutku berbunyi pertanda minta diisi. Satu bungkus pecel lele cukup untuk mengganjal rasa lapar ini.
Sinar redup matahari sore, adalah pertanda permainan ini untuk segera diakhiri. Satu persatu dari kami mulai meninggalkan arena permainan. Dengan langkah santai kami memasuki bus kami masing-masing. Bus berjalan pelan mengantarkan kami pulang. Ku ambil gitar dengan sedikit petikan kami nyanyikan lagu-lagu gembira. Sampai di Pringsewu mobil berhenti dan kami membeli oleh-oleh. Perjalanan mulai kami lanjutkan tiba di aspal terakhir Gunung Megang, mobil pickup sudah menunggu, dan siap mengangkut kami kembali.
Rasa gembira kini berganti dengan kesepian di malam hari. Terlintas jelas dalam bayangan kebersamaan dengan teman-teman yang tadi kami lakukan. Semua rasa yang ada kami tumpahkan dalam tidur malam, sambil termenung aku berharap dalam hati semoga kebersamaan ini akan menjadi kenangan yang abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar