"Tak Ada Orang Bodoh, yang Ada Orang yang Tidak Mendapat Kesempatan Belajar dari Guru yang Baik"
Sebuah kutipan yang panjang, yang sengaja saya pilih untuk mengingatkan saya agar menjadi guru yang baik,
Kalimat di atas saya ambil dari ucapan Yohanes Surya pada acara Kick Andy edisi 16 September 2011. Sebagai seorang guru, kalimat itu sungguh sangat menyentuh perasaan saya.
Selama ini selalu saya katakan pada siswa-siswa saya, “tidak ada orang bodoh, Nak. Yang ada hanyalah orang malas yang tak mau berusaha”
Atau lain waktu saya bilang,”Bahasa Inggris itu bukan sesuatu yang menakutkan, kalau kita belajar mencintai Bahasa Inggris itu sendiri”
Kalimat-kalimat itu saya lontarkan dengan tujuan memotivasi semangat belajar anak didik saya. Apalagi, selama ini Bahasa Inggris sering dianggap sebagai “monster” yang menakutkan. Sebagai seorang guru saya berkewajiban mengajak mereka menyelami dunia Bahasa Inggris ini, agar tidak dipandang dari sisi yang rumit. Tapi saya lupa, motivasi secara verbal tidaklah cukup. Saya juga lupa, bagaimana mereka, anak didik ini, membutuhkan motivasi yang bersifat nyata, jangan pernah kita menyuruh siswa kita untuk belajar kalau gurunya sendiri tidak pernah mau belajar, Saya juga lupa, bagaimana faktor seorang guru juga berperan dalam kemajuan siswa. Sebagai seorang guru saya sering melempar tanggung jawab, menutupi kekurangan saya dengan cara mencari kelemahan mereka.
Artikel ini saya tulis terinspirasi dari salah seorang siswa yang berkirim amail kepada saya: "Sekarang saya bukan lagi anak pandai yang selalu juara kelas, tapi saya sudah berubah drastis menjadi anak bodoh dan pemalas yang sering mendapatkan nilai 3 dan 4 saat tes. Saat belajar di ruang kelas, saya sama sekali tidak bisa konsentrasi. Saya tidak bisa mencerna materi-materi pelajaran yang disampaikan para guru di ruang kelas. Saya adalah anak yang bodoh dan pemalas. saya bodoh sejak di lahirkan, saya tak berguna. saya hanya membuang-buang harta orang tua yang menyekolahkan saya. Tapi saya bukan penjahat, pemabuk atau sejenisnya saya hanya orang yang ingin bisa diterima dengan segala kekurangan saya. Dan saya ingin menjadi orang yang sukses di hari esok nanti. Apakah saya bisa? Ya allah, tolonglah hambamu ini, beri jalan keluarnya"
Artikel ini saya tulis terinspirasi dari salah seorang siswa yang berkirim amail kepada saya: "Sekarang saya bukan lagi anak pandai yang selalu juara kelas, tapi saya sudah berubah drastis menjadi anak bodoh dan pemalas yang sering mendapatkan nilai 3 dan 4 saat tes. Saat belajar di ruang kelas, saya sama sekali tidak bisa konsentrasi. Saya tidak bisa mencerna materi-materi pelajaran yang disampaikan para guru di ruang kelas. Saya adalah anak yang bodoh dan pemalas. saya bodoh sejak di lahirkan, saya tak berguna. saya hanya membuang-buang harta orang tua yang menyekolahkan saya. Tapi saya bukan penjahat, pemabuk atau sejenisnya saya hanya orang yang ingin bisa diterima dengan segala kekurangan saya. Dan saya ingin menjadi orang yang sukses di hari esok nanti. Apakah saya bisa? Ya allah, tolonglah hambamu ini, beri jalan keluarnya"
Sebuah curahan hati yang ditulis oleh seorang siswa yang dengan jujur menyampaikan segala keluhanya, membuat hati saya miris dan terpangil untuk juga menginstropeksi diri saya sendiri. Sebuah refleksi tentang apa, siapa, bagaimana dan orang macam apakah saya. Apakah saya sering mencaci anak didik saya, ya Allah ampunilah dosa-dosa saya karena kesalahan saya mendidik ternyata telah memusnahkan, harapan mereka untuk menjadi seorang presiden, profesor, dokter dan sebagainya. Janganlah karena persepsi kita yang keliru, kita menghacurkan impian dan cita-cita anak didik kita, istilah pepatahnya “karena caci setitik rusak segala potensi siswa yang ada”
Berdasarkan pengalaman study literatur, mengenai pembahasan anak-anak yang masuk didalam kategori normal, saya percaya bahwa semua anak cerdas. sejak kita dilahirkan di dunia ini atau bahkan masih di dalam kandungan, kita telah belajar banyak hal. Tuhan Maha Besar, Maha Adil, dan Maha Pemurah. Tuhan tidak pernah membedakan manusia satu dengan yang lainya. Tuhan tidak pernah melihat warna kulit, ras agama, latar belakang sosial, keluarga dan siapa orang tua kita.
Pada saat seorang anak manusia dilahirkan, ia telah dikaruniai oleh otak yang luar biasa. mereka dibekali 1. 000.000.000.000 atau satu triliun sel otak/neuron. Tapi sering kali karena kesalahan kita mendidik mereka kita tanpa sadar telah mematikan potensi yang semestinya bisa mereka kembangkan. Sering kita melontarkan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan, pada saat murid tidak bisa menguasai satu mata pelajaran tertentu kita katakan mereka bodo, tolol, dll. Dalam hal ini kita sering berkata demikian berarti kita telah menghina dan mengingkari hasil karya Tuhan YME, yang telah menciptakan potensi kecerdasan setiap anak didik kita yang sangat luar biasa besarnya. Singkat kata kita dilahirkan dalam potensi menjadi cerdas. Sejak lahir hingga meninggal kita tidak pernah berhenti untuk belajar.
Belajar dari kisah sukses dari orang ternama seperti: Issac Newton sang penemu hukum grafitasi, Albert Einstein sang penemu rumus bom atom yang pada masa kecilnya mengalami kesulitan membaca, dan Thomas Alfa Edison, mereka bertiga telah dianggap sebagai murid yang sangat tolol pada mulanya oleh guru-gurunya, tapi sekarang apa yang terjadi ternyata anggapan mereka itu 100% salah dan keliru. karena ternyata mereka adalah orang-orang jenius.
Bayangkan, jika saja Thomas Alfa Edison dan ibunya percaya dengan penilaian gurunya yang menganggap Edison kecil bodoh, tolol idiot, sampai sempat dikeluarkan dari sekolah karena sering menyontek, mungkin saat ini kita tak akan menikmati terangnya bola lampu hasil temuan Edison. Mungkin saat ini kita masih menggunakan lampu minyak tanah (lampu cempor, lampu tempel atau patromak). Untungnya Edison dan ibunya tak percaya dengan penilaian gurunya, sehingga Edison menjadi salah seorang penemu terbesar dengan temuan bola lampu pijarnya yang fenomenal. Sang ibu percaya bahwa putranya bukan anak yang bodoh, dia mengambil Edison kecil dari sekolah dan mendidiknya sendiri.
Tetapi sebagai seorang guru kita sering kali tidak sadar atau tidak tahu bagaimana proses belajar anak didik kita. Yang tampak hanyalah hasilnya. Hal yang umum dilakukan adalah jika siswa berbuat salah kita langsung reaktif untuk mencaci dan menghukumnya tanpa bisa memberi solusi terhadap kesalahan yeng telah dilakukan oleh anak didik kita. karena persepsi kita yang keliru, kita menghacurkan impian dan cita-cita mereka, istilah pepatahnya “karena caci setitik rusak segala potensi siswa yang ada”
"Gimana mau pinter, wong gurunya kalo ngajar gitu-gitu aja, membosankan… Menyerah pada keadaan, dan menggampangkan sesuatu yang sebenarnya tidak gampang"
Yohanes Surya juga mengatakan dalam acara tersebut, "bahwa kita perlu menempatkan diri pada keadaan ‘kritis’, agar kita bisa mencari jalan keluar yang terbaik"
Saya tersenyum sendiri ketika mendengar itu. Ingatan saya melayang ketika pertama kali mengajar di sekolah. Ketika saya masuk ke dalam kelas, tak satupun siswa memiliki buku pegangan atau buku cetak belajar. "Boro-boro beli buku cetak, bayaran sekolah saja mereka nunggak berbulan-bulan"
Berangkat dari kondisi awal yang serba minimal, sempat memaksa saya masuk ke dalam kondisi kritis. Saya paksakan ketika itu, membuat handout materi Bahasa Inggris yang berisi ringkasan materi.
Tapi kondisi kritis ini hanya berlangsung sesaat. Setelahnya saya justru banyak mengeluh, kenapa saya, harus berhadapan dengan siswa dengan kondisi sosial ekonomi berada pada level menengah ke bawah….? Bisa ditebak, ketika keluar dari kondisi kritis ini, terjadilah kemandulan kreativitas pada diri saya.
Saya menjadi lupa, bahwa sebongkah intan tak akan bernilai tinggi tanpa kita mengasahnya dulu dari sebuah bongkahan batu. Untuk itulah saya harus menjadi lebih baik lagi.
Sebagai guru saya malu, ternyata saya bukan apa-apa selama ini. "Selama ini saya hanya bisa menghujat kondisi pendidikan Indonesia, tanpa bisa berbuat untuk memajukannya"
Pada saat seorang anak manusia dilahirkan, ia telah dikaruniai oleh otak yang luar biasa. mereka dibekali 1. 000.000.000.000 atau satu triliun sel otak/neuron. Tapi sering kali karena kesalahan kita mendidik mereka kita tanpa sadar telah mematikan potensi yang semestinya bisa mereka kembangkan. Sering kita melontarkan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan, pada saat murid tidak bisa menguasai satu mata pelajaran tertentu kita katakan mereka bodo, tolol, dll. Dalam hal ini kita sering berkata demikian berarti kita telah menghina dan mengingkari hasil karya Tuhan YME, yang telah menciptakan potensi kecerdasan setiap anak didik kita yang sangat luar biasa besarnya. Singkat kata kita dilahirkan dalam potensi menjadi cerdas. Sejak lahir hingga meninggal kita tidak pernah berhenti untuk belajar.
Belajar dari kisah sukses dari orang ternama seperti: Issac Newton sang penemu hukum grafitasi, Albert Einstein sang penemu rumus bom atom yang pada masa kecilnya mengalami kesulitan membaca, dan Thomas Alfa Edison, mereka bertiga telah dianggap sebagai murid yang sangat tolol pada mulanya oleh guru-gurunya, tapi sekarang apa yang terjadi ternyata anggapan mereka itu 100% salah dan keliru. karena ternyata mereka adalah orang-orang jenius.
Bayangkan, jika saja Thomas Alfa Edison dan ibunya percaya dengan penilaian gurunya yang menganggap Edison kecil bodoh, tolol idiot, sampai sempat dikeluarkan dari sekolah karena sering menyontek, mungkin saat ini kita tak akan menikmati terangnya bola lampu hasil temuan Edison. Mungkin saat ini kita masih menggunakan lampu minyak tanah (lampu cempor, lampu tempel atau patromak). Untungnya Edison dan ibunya tak percaya dengan penilaian gurunya, sehingga Edison menjadi salah seorang penemu terbesar dengan temuan bola lampu pijarnya yang fenomenal. Sang ibu percaya bahwa putranya bukan anak yang bodoh, dia mengambil Edison kecil dari sekolah dan mendidiknya sendiri.
Tetapi sebagai seorang guru kita sering kali tidak sadar atau tidak tahu bagaimana proses belajar anak didik kita. Yang tampak hanyalah hasilnya. Hal yang umum dilakukan adalah jika siswa berbuat salah kita langsung reaktif untuk mencaci dan menghukumnya tanpa bisa memberi solusi terhadap kesalahan yeng telah dilakukan oleh anak didik kita. karena persepsi kita yang keliru, kita menghacurkan impian dan cita-cita mereka, istilah pepatahnya “karena caci setitik rusak segala potensi siswa yang ada”
"Gimana mau pinter, wong gurunya kalo ngajar gitu-gitu aja, membosankan… Menyerah pada keadaan, dan menggampangkan sesuatu yang sebenarnya tidak gampang"
Yohanes Surya juga mengatakan dalam acara tersebut, "bahwa kita perlu menempatkan diri pada keadaan ‘kritis’, agar kita bisa mencari jalan keluar yang terbaik"
Saya tersenyum sendiri ketika mendengar itu. Ingatan saya melayang ketika pertama kali mengajar di sekolah. Ketika saya masuk ke dalam kelas, tak satupun siswa memiliki buku pegangan atau buku cetak belajar. "Boro-boro beli buku cetak, bayaran sekolah saja mereka nunggak berbulan-bulan"
Berangkat dari kondisi awal yang serba minimal, sempat memaksa saya masuk ke dalam kondisi kritis. Saya paksakan ketika itu, membuat handout materi Bahasa Inggris yang berisi ringkasan materi.
Tapi kondisi kritis ini hanya berlangsung sesaat. Setelahnya saya justru banyak mengeluh, kenapa saya, harus berhadapan dengan siswa dengan kondisi sosial ekonomi berada pada level menengah ke bawah….? Bisa ditebak, ketika keluar dari kondisi kritis ini, terjadilah kemandulan kreativitas pada diri saya.
Saya menjadi lupa, bahwa sebongkah intan tak akan bernilai tinggi tanpa kita mengasahnya dulu dari sebuah bongkahan batu. Untuk itulah saya harus menjadi lebih baik lagi.
Sebagai guru saya malu, ternyata saya bukan apa-apa selama ini. "Selama ini saya hanya bisa menghujat kondisi pendidikan Indonesia, tanpa bisa berbuat untuk memajukannya"
Compiled by: Riadi Novianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar